Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan. Penjajahan di Blitar berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta dan akhirnya rakyat Blitar pun kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda. Dan untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia antara lain kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean.Pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali. Pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu. Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, yang diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi. Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang. Konon kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini dengan Ir. Soekarno yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun Soekarno ketika itu tidak memberikan dukungan secara nyata karena Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.Pemberontakan PETA ini walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia dan menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar".
Terhampar di lereng selatan Gunung Kelud, Kabupaten Blitar memiliki potensi yang cukup besar dari berbagai sektor, terutama sektor agro seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan, maupun pariwisata. Dalam sejarahnya, wilayah ini lekat dengan kisah sejarah Kerajaan Majapahit.
Daftar wisata sejarah di Blitar ini memuat daftar situs sejarah masa klasik hingga sejarah nasional Indonesia yang ada di Blitar. Daftar disusun menurun sesuai abjad dengan keterangan singkat mengenai lokasinya. Ulasan masing-masing objek dapat dibaca dengan mengclick pada setiap judul yang kalian pilih.
error: Content is protected !!
Liputan6.com, Jakarta - Kabupaten Blitar, salah satu wilayah yang berada di bagian barat daya Jawa Timur. kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang di utara, Kabupaten Malang di timur, samudera Indonesia di selatan, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri di barat.
Di kabupaten ini terdapat sungai yang membagi wilayahnya menjadi dua, yaitu Sungai Brantas. Sungai ini membagi Kabupaten Blitar menjadi bagian, yaitu Blitar Selatan dan Blitar Utara.
Mengutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar, blitarkab.go.di, kawasan Blitar selatan merupakan kawasan yang tidak cukup subur karena letaknya yang berada di daerah pegunungan berbatu cenderung berkapur yang menyebabkan tandus dan menyebabkan tanahnya sulit untuk ditanami.
Tak seperti bagian selatan, Blitar utara mempunyai tanah yang subur dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Faktor penting yang mengakibatkan tanah di Blitar utara subur adalah adanya Gunung Kelud yang aktif dan banyaknya aliran sungai. Gunung berapi dan sungai berfungsi untuk menyebarkan zat hara.
Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana awal mula adanya Kabupaten Blitar? Kali ini Liputan6.com akan membahas sejarah Kabupaten Blitar mengutip dari blitarkab.go.id.
Merunut sejarah, awal mula adanya Kabupaten Blitar tertuang dalam peninggalan-peninggalan pada zaman dulu. Dari berbagai prasasti yang ada, tak satupun tertulis “Blitar” sebagai pusat pemerintahan. Namun, beberapa desa di Kabupaten Blitar sekarang tertuang di dalam prasasti-prasasti tersebut.
Kabupaten Blitar yang paling tua tercatat dalam prasasti Kinewu yang dipahat pada bagian belakang arca Ganesa dari abad ke-X. Dalam prasasti menunjukkan, wilayah Kabupaten Blitar adalah bagian Kerajaan Balitung yang berpusat di Jawa Tengah.
Pada abad ke-X sampai akhir abad ke-XII, beberapa wilayah yang sekarang termasuk Kabupaten Blitar tertulis dalam prasasti-prasasti Pandelegan I 1117, Panumbangan I 1120, Geneng I 1128, Talang 1136, Japun 1144, Pandelegan II 1159, Mleri 1169, Jaring 1181, Semanding 1182, Palah 1197, Subhasita 1198, Mleri I 1198 dan Tuliskriyo 1202.
Pada masa Kerajaan Singasari berkembang, terdapat beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kabupaten Blitar sekarang, salah satunya adalah Prasasti Petung Ombo pada 1260 M. Prasasti tersebut dikeluarkan saat pemerintahan Raja Kertanegara (1268 – 1292 M). Peninggalan zaman Kerajaan Singasari di antaranya Patung Ganesa dari Boro dan Candi Sawentar menjadi bukti saat pemerintahan raja-raja Singasari, Kabupaten Blitar memegang peran penting.
Hal itulah yang menjadi bukti sebagian wilayah di Blitar sudah menjadi pusat kehidupan masyarakat yang terbilang penting sekitar sepuluh abad yang lalu. Blitar sebagai pusat pemerintahan diperkirakan sejak awal pemerintahan raja-raja Majapahit.
Hal ini dibuktikan oleh sejarah mengenai Kerajaan Majapahit yang lahir setelah Raden Wijaya berhasil mengusir pasukan tentara Tartar Ku Bilai Khan pada 1293 M (Pararaton: 33). Raja yang pertama kali memimpin Kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya yang dikenal dengan nama Kertarajasa Jayawardhana (1294 – 1309). Sebagai negara baru, Majapahit berpusat di dekat Mojokerta.
Di Desa Kotes, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur terdapat peninggalan bangunan suci yang diyakini sebagai penghubung sejarah awal mula adanya daerah Blitar. Pada bangunan tertulis tahun 1222 Saka dan 1223 Saka atau 1300 dan 1301 Masehi (Knebel 1908:355). Hal ini menunjukkan tahun tersebut adalah zaman di mana raja pertama Majapahit menjabat.
Selain itu terdapat Candi Kotes yang didirikan pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raden Wijaya. Candi tersebut terletak di Suruhwadang, Blitar, Jawa Timur.
Di kawasan sepanjang lembah Gunung Kawi sebelah barat, terdapat sejumlah prasasti abad ke-XII. Dengan demikian, masyarakat diperkirakan kehidupannya makmur karena terdapat beberapa perkebunan. Jumlah penduduk tumbuh dan berkembang dengan waktu yang singkat.
Meskipun tidak ada data jumlah penduduk di bagian timur ini, tapi diperkirakan sumber daya manusia berperan penting sehingga daerah ini menjadi salah satu daerah penting. Cukupnya sumber daya manusia merupakan jaminan untuk menggerakkan pasukan dengan mudah, baik untuk pertahana maupun serangan.
Saat Raja Raden Wijaya meninggal pada 1309, putranya, Jayanegara (1309 – 1328) menjabat sebagai raja Majapahit kedua. Dalam Prasasti Tuhanyaru disebutkan, anugerah tanah kepada beberapa pejabat kerajaan karena mereka berjasa kepada raja, maka prasasti Blitar pun tertulis pernyataan yang sama.
Oleh karena itu, diketahui hubungan Raja Jayanegara dengan warga Blitar istimewa. Hal ini dibuktikan dengan para pejabat yang diberikan tanah karena kesetiaan desa Blitar kepada sang raja.
Seorang Kepala Dusun atau Kasun di sebuah desa di Blitar, Jawa Timur diringkus polisi, karena diduga menjadi bandar judi. Perangkat desa itu dibekuk polisi, saat berjudi bersama sejumlah warga di pos kamling desanya.
Kota Blitar, Jawa Timur menyimpan banyak momen serta lokasi bersejarah Tanah Air, mulai era masa kerajaan hingga kemerdekaan Indonesia. Berbagai peninggalan serta situs sejarah dari masa ke masa yang menjadi saksi berdirinya Tanah Air masih dapat disaksikan di sini. Sehingga tak heran bila daerah berjuluk Kota Patria ini sering didatangi wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.
Mengunjungi peninggalan atau tempat bersejarah juga dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk mencintai Tanah Air. Berwisata ke tempat dengan nilai histori tinggi dapat menumbuhkan rasa cinta Tanah Air. Ada banyak destinasi wisata sejarah yang terbuka untuk dikunjungi wisatawan. Apa saja destinasi wisata sejarah yang ada di Blitar? Berikut ini beberapa di antaranya.
Istana Gebang Blitar
Istana Gebang Blitar adalah rumah masa remaja Bung Karno yang kini menjadi museum. Soekemi Soestrodiharjo ayah Bung Karno berpindah tugas dari Mojokerto ke Blitar membawa serta keluarganya menempati rumah ini. Rumah ini dulunya adalah milik orang Belanda yang merupakan pegawai perusahaan kereta api. Keluarga Bung Karno menempati rumah ini mulai tahun 1917-1919.
Bung Karno menghabiskan masa remajanya di rumah yang fasad bangunannya tetap dipertahankan keasliannya hingga kini. Wisatawan yang berkunjung ke sini dapat melihat interior dan furnitur asli, di antaranya lukisan dan foto Bung Karno, kasur, lemari, tempat duduk, radio, sepeda jengki hingga mobil.
Lokasi: Jl. Sultan Agung No.59, Sananwetan, Kec. Sananwetan, Kota BlitarWaktu operasional: Senin-Minggu 05.00-17.00 WIB
Monumen PETA didirikan untuk mengenang jasa pahlawan nasional Supriyadi yang berjasa dalam kemerdekaan Indonesia. Supriyadi atau kerap disebut Sudanco Supriyadi merupakan pemipin pemberontakan pasukan pembela Tanah Air (PETA) Blitar melawan tentara Jepang pada tahun 1945. Di tempat berdirinya monumen ini, tepatnya pada 14 Februari 1945 perlawanan PETA terhadap Jepang pertama kali.
Selain Sudanco Supriyadi ada enam tokoh lain yang diabadikan dalam monumen PETA yaitu Chudancho dr Soeryo Ismail, Shodancho Soeparjono, Budancho Soedarmo, Shodancho Moeradi, Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan Budancho Soenanto.
Lokasi: Jl. Sudanco Supriyadi, Bendogerit, Kec. Sananwetan, Kota Blitar
Bila melihat wajah Alun-Alun Blitar yang sekarang, tentu tidak ada yang mengira bahwa dulunya tempat ini pernah dijadikan sebagai lokasi tradisi Rampogan Macan. Rampogan Macan adalah tradisi yang dilakukan untuk menombak macan atau harimau yang dilakukan oleh manusia secara bersama-sama. Saat tradisi itu berlangsung, Alun-Alun dikelilingi lautan manusia yang membawa tombak sementara di tengahnya terdapat macan atau harimau untuk dibunuh.
Tradisi itu berlangsung hingga tahun 1905 yang kemudian dilarang oleh Pemerintah Belanda karena menyebabkan populasi harimau Jawa di ambang kepunahan. Saat ini fisik Alun-Alun Blitar telah berubah dan sisa-sisa keganasan tersebut tidak tampak. Alun-Alun Blitar kini menjadi ruang terbuka hijau yang menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Lokasi: Jl. Merdeka, Kepanjen Lor, Kec. Kepanjenkidul, Kota Blitar
Selain sejarah yang berkaitan dengan kemerdekaan RI, wisatawan yang berkunjung ke Blitar dapat melihat peninggalan pada masa kerajaan yaitu Candi Penataran. Candi Penataran merupakan candi bercorak Hindu Siwa terluas di Jawa Timur, yang diperkirakan dibangun pada tahun 1200 Masehi pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri.
Kompleks Candi Penataran terdiri dari beberapa bangunan maupun candi di antaranya Candi Brawijaya, Candi Naga, candi induk atau candi utama, hingga petirtaan. Terdapat juga arca Dwarapala, arca Mahakala, dan Prasasti Palah serta relief yang terukir di dinding candi dengan berbagai cerita. Tidak ada biaya masuk yang dikenakan alias gratis untuk masyarakat yang akan berkunjung ke Candi Penataran.
Lokasi: Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten BlitarWaktu operasional: Senin-Minggu 07.00-17.00 WIB.
Fungsi Candi Penataran
Menurut naskah Bhujangga Manik, Rabut Palah atau kompleks Panataran adalah tempat yang ramai dikunjungi setiap hari untuk melakukan puja dan belajar agama. Bhujanga Manik, seorang bangsawan Sunda, bahkan menetap di sana untuk mempelajari kitab-kitab agama dan hukum.
Sumber lain, Kakawin Parthayajna, menggambarkan tempat suci mirip Candi Penataran sebagai pertapaan berbentuk Meru. Kedua sumber tersebut menunjukkan bahwa Rabut Palah bukan hanya tempat suci, tetapi juga pusat pendidikan agama (mandala) yang dipimpin Siddharsi atau Dewaguru, yang berkembang di Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Fungsi Candi Penataran tak hanya sebagai puja dan belajar keagamaan, namun juga memiliki fungsi sebagai candi kerajaan untuk menghias kaki candi induk Penataran.
Dilansir dari jurnal berjudul Candi Penataran: Candi Kerajaan Masa Majapahit yang ditulis Hariani Santiko, Penataran tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada dewa Siwa dan pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai candi kerajaan (state temple) Majapahit. Pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai dari masa Raja Jayanagara hingga Ratu Suhita.
Salah satu bukti Candi Penataran berfungsi sebagai candi kerajaan adalah pemilihan dua relief tentang Wisnu, yaitu dari Kakawin Ramayana dan Kresnayana, yang menghiasi kaki candi induk Penataran. Meskipun Waisnawa bukan agama yang dominan di Jawa, banyak raja, sejak era Mataram Hindu di Jawa Tengah, yang memilih Wisnu sebagai Istadewata atau dewa pelindung mereka.
Candi Penataran yang dulunya disebut dengan Rabut Palah, adalah peninggalan Majapahit yang sangat unik dan istimewa. Tidak hanya itu, candinya masih terlihat indah dan candi ini memiliki fungsi candi, seperti candi kerajaan yang dikunjungi banyak orang untuk memuja Paramasiwa.
Candi Penataran merupakan contoh nyata dari warisan budaya Indonesia yang kaya dan beragam. Relief yang menghiasi dinding candi menggambarkan berbagai cerita dari kitab suci Hindu, seperti Ramayana dan Krenayana. Detail-detail artistik ini tidak hanya menunjukkan keterampilan tinggi para seniman pada masa itu, tetapi juga memberikan wawasan tentang kepercayaan dan praktik budaya masyarakat.
Sebagai salah satu situs warisan dunia, Candi Penataran diakui UNESCO sebagai bagian dari sejarah peradaban Asia Tenggara. Hal ini menegaskan pentingnya pelestarian situs ini, baik sebagai sumber pengetahuan sejarah maupun sebagai objek wisata budaya. Upaya perlindungan dan pemeliharaan terus dilakukan pemerintah dan lembaga terkait untuk memastikan keindahan dan keaslian candi tetap terjaga.
Candi Penataran menjadi salah satu destinasi wisata utama di Blitar. Dengan arsitektur yang megah dan suasana yang tenang, tempat ini menarik banyak pengunjung dari berbagai kalangan. Pengunjung dapat menikmati pemandangan alam yang indah di sekitar candi, serta mempelajari lebih lanjut tentang sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Berbagai kegiatan edukasi dan festival budaya juga sering diselenggarakan untuk memperkenalkan warisan budaya kepada generasi muda. Candi Penataran bukan hanya sekadar bangunan bersejarah, ia adalah simbol kekuatan dan kejayaan masa lalu yang harus dijaga dan dilestarikan. Dengan segala nilai sejarah, budaya, dan estetika yang dimilikinya, Candi Penataran merupakan salah satu harta karun Indonesia yang patut dibanggakan dan dikenalkan kepada dunia.
Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Istana Gebang merupakan kediaman masa kecil Bung Karno. Di tempat ini Bung Karno menghabiskan masa kanak-kanaknya.
Kini rumah masa kecil Bung Karno dikelola pemerintah menjadi kompleks bangunan bernilai sejarah. Di depan istana, terdapat patung Bung Karno berwarna putih. Bangunan yang masih mempertahankan arsitektur aslinya ini menjadi destinasi untuk melengkapi wisata sejarah di Blitar.
Di dalam rumah ini, pengunjung dapat melihat berbagai macam barang peninggalan Ir. Soekarno. Mulai dari perabotan rumah, tempat tidur, kursi dan juga benda-benda kuno lain seperti mesin ketik, radio dan telepon rumah. Istana Gebang juga berada di Jl. Sultan Agung No.59, Sananwetan, Kec. Sananwetan, Kota Blitar.
Situs Umpak Balekambang
Peninggalan sejarah Situs Umpak Balekambang terdiri atas jajaran umpak atau alas penyangga tiang rumah yang terbuat dari batu. Di situs ini terdapat 36 buah umpak yang dulunya diperkirakan sebagai alas pendopo yang digunakan untuk tempat bersemedi dan istirahat raja-raja sejak zaman kerajaan Kediri hingga zaman Majapahit di era Hayam Wuruk. Diperkirakan situs umpak Balekambang ini sudah ada sejak tahun 1272 Masehi yang tertulis di salah satu umpak.
Lokasi: Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten BlitarWaktu operasional: Senin-Minggu 07.00-17.00 WIB.
Sungguh sangat beragam kan kekayaan sejarah Indonesia yang dapat dijumpai di Blitar? Mulai dari candi yang diperkirakan usianya ratusan tahun hingga makam proklamator Indonesia. Jadi makin cinta dan bangga sama Tanah Air!
Baca Juga: 5 Rekomendasi Tempat Makan Gudeg di Blitar
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
KOMPAS.com - Candi Rambut Monte terletak di Desa Krisik, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Situs candi ini berada di kawasan wisata Telaga Rambut Monte.
Konon, keberadaan candi dan Telaga Rambut Monte dikaitkan dengan mitos tentang resi (petapa) dari zaman Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Sejarah Candi Pamotan di Sidoarjo
Candi Rambut Monte terbuat dari batu andesit berdenah segi empat berukuran 2,92 x 2,96 meter dengan tinggi yang tersisa 85 cm.
Saat ini, struktur bangunan candi yang tersisa hanya bagian kaki dan sebagian tubuhnya saja, sedangkan bagian atapnya telah runtuh. Bentuk asli Candi Rambut Monte pun tidak diketahui.
Pada sisi barat atau bagian depan candi terdapat hiasan kala yang tidak digambarkan secara lazim.
Kala biasanya berupa kepala raksasa berambut gimbal dan bertanduk, dengan taring tajam.
Pada Candi Rambut Monte, hiasan kala digambarkan seperti kepala manusia yang sedang merangkak dan di atasnya terdapat hiasan ular dengan sulur, yang oleh masyarakat disebut dengan monte, sebagai rambut ular.
Karena itu candi ini dikenal dengan sebutan Candi Rambut Monte.
Baca juga: Candi Karang Besuki, Tempat Keselamatan dari Masa Kerajaan Kanjuruhan
Namun, pendapat lain menyebut bahwa nama Rambut Monte berasal dari dua kata, yakni rambut dan monte.
Kata rambut merupakan gabungan dari ra, yang berarti penghormatan, dan but yang merupakan kependekan dari buyut. Sedangkan monte adalah sejenis tanaman.
Dari asal kata tersebut, Rambut Monte dapat diartikan sebagai tempat penghormatan yang disucikan.
Selain reruntuhan candi, artefak lain yang ditemukan di sekitarnya adalah sebuah yoni dan lingga, yang memiliki motif hiasan ukiran sulur-sulur gelung.
Dari temuan lepas tersebut, dapat diketahui bahwa Candi Rambut Monte berlatarbelakang agama Hindu.
Sayangnya, tidak diketahui kapan candi ini dibangun dan siapa yang memerintahkan pembangunannya.
Baca juga: Sejarah Candi Tawangalun di Sidoarjo
Bukti lain dari teori cina ini adalah banyaknya pendakwah yang berasal dari keturunan Cina yang mempunyai pengaruh besar pada masa kerajaan Demak. Seperti kita ketahui, kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Adapun buku sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna yang menyebutkan bahwa kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah yang merupakan putra dari Majapahit Islam ini.4. Teori Persia (iran)Teori yang menyatakan bahwa asal mula sejarah masuknya agama islam ke Indonesia dari Negara Persia (yang sekarang bernama Negara Iran) adalah teori yang didukung oleh Husen Djadjadiningrat dan Umar Amir Husen. Djajadiningrat berpendapat jika teori Persia ini selaras dengan asal mula masuknya Islam ke Indonesia. hal ini dikarenakan menurut Djajadiningrat kebudayaan Islam di nusantara memiliki banyak kesamaan dengan kebudayaan Islam di Persia.
1. Melalui Jalur PerdaganganIslam diperkirakan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan sejak abad ke-7 hingga abad ke-11. Achmad Syafrizal dalam penelitiannya yang berjudul Sejarah Islam Nusantara dalam Jurnal Islamuna (2015) menyebutkan, sejak awal abad Masehi, kaum pedagang asing sudah mengunjungi beberapa pelabuhan di Nusantara, seperti Aceh, Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik.
2. Melalui Jalur Pernikahan Pernikahan menjadi salah satu cara penyebaran Islam di Nusantara. Jalur pernikahan ini ditempuh para ulama sekitar abad ke-11 hingga ke-13 M. Windriati dalam Buku Siswa Sejarah Indonesia SMA/MA menyebut, umumnya saudagar yang menikah adalah orang-orang kaya dan terpandang. Sehingga, para putra-putri raja yang akan dipersunting harus masuk Islam terlebih dahulu. Jalur ini memiliki andil besar dalam persebaran Islam di Nusantara.
3. Melalui Jalur Pendidikan Jalur pendidikan ini dibentuk oleh para da’i yang mengabdikan dirinya untuk menyebarkan Islam ke wilayah baru, salah satunya Nusantara. Para da’i penyebar agama Islam ini bukanlah pedagang, melainkan murni menjalankan misi untuk membawa ajaran Islam ke wilayah baru yang belum tersentuh Islam. Dalam praktiknya, mereka dipandu oleh para pedagang. Jalur pendidikan ini memegang peranan yang cukup penting. Sebab, melalui dakwah Islam yang semula dikenal di pantai-pantai sepanjang jalur perdagangan, akhirnya bisa berkembang luas hingga ke pulau-pulau Indonesia bagian timur.
4. Melalui Jalur kesenian Agama Islam masuk ke Indonesia tak luput dari peran akulturasi budaya yang dilakukan oleh para da’i. Hal ini terjadi sekitar abad ke-12 hingga ke-14 M. Cara ini salah satunya dilakukan melalui pertunjukan wayang yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Ada juga strategi penyebaran Islam melalui permainan musik yang dilakukan oleh Sunan Bonang.
5. Melalui Jalur Politik Penyebaran Islam di Nusantara juga dilakukan melalui pendekatan politik. Salah satunya adalah berdirinya Kesultanan Demak yang kental dengan peran Walisongo. Pemimpin pertama sekaligus pendiri Kesultanan Demak adalah Raden Patah yang merupakan putra dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Berdirinya Kesultanan Demak ini memudahkan penyebaran Islam di tanah Jawa. Ketika seorang raja telah memeluk Islam, maka rakyat pun akan berbondong-bondong mengikutinya.
6. Melalui Jalur TasawufDakwah Islam melalui ajaran tasawuf cukup mudah diterima oleh masyarakat karena ajaranya mementingkan pembinaan moral yang penuh dengan kelembutan, kepedulian kepada sesama makhluk serta sesuai dengan kebutuhan jasmani, terutama rohani sehingga menjadi solusi dari problem yang dihadapi manusia dewasa ini.
TOKOH TOKOH PENYEBARAN ISLAM
1.Sultan Malik Al Saleh (1267 - 1297 M)
Meurah Silu atau Sultan Malik al-Saleh merupakan pendiri dan raja pertama Samudra Pasai (berdiri pada tahun 1267 M). Meurah Silu memeluk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail dari Mekah.
2.Sultan Ahmad (1326 – 1348 M)
Beliau merupakan sultan Samudera Pasai yang ketiga, bergelar Sultan Malik al-Thahir II. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Samudra Pasai dikunjungi oleh seorang penjelajah dari Maroko, yaitu Ibnu Batutah.
Setelah masuk Islam, Meurah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh, dan berkuasa selama 29 tahun. Kesultanan Samudra Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Peurlak dan Kerajaan Pase.
Menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Ahmad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan agama Islam. Beliau berusaha keras untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di sekitar Samudra Pasai.
3. Sultan Alaudin Riayat Syah (1538 – 1571 M)Beliau merupakan sultan Aceh ketiga, terkenal sebagai peletak dasar-dasar kejayaan Kesultanan Aceh. Hubungan baik dengan Kesultanan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya menjadikan pemerintahannya semakin kuat. Bahkan militer Kesultanan Aceh terkenal handal karena mendapat bantuan dari Kesultanan Turki Utsmani. Sultan Alaudin Riayat Syah berperan dan berjasa dalam penyebaran Islam di wilayah Aceh. Beliau mendatangkan ulama-ulama dari Persia dan India untuk mengajarkan agama Islam di Kesultanan Aceh.
4. Wali Songo (1404 – 1546 M)Wali Songo merupakan sembilan wali atau sunan yang menjadi pelopor penyebaran Islam di Pulau Jawa.Mereka adalah:(1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)(2) Raden Rahmat (Sunan Ampel)(3) Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)(4) Raden Paku (Sunan Giri)(5) Syarifuddin / raden Qosim (Sunan Drajat)(6) Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga)(7) Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)(8) Raden Umar Said (Sunan Muria)(9) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
5. Sultan AlauddinSultan Alauddin, nama aslinya adalah I Manga’rangi Daeng Manrabbia, dinobatkan sebagai raja Gowa pada usia tujuh tahun. Beliau termasuk tokoh yang berjasa besar pada penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Beliau merupakan raja Gowa pertama yang masuk Islam bersama raja Tallo. Oleh karenanya, rakyat Gowa-Tallo secara bertahap memeluk agama Islam. Penyebaran agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin mencapai daerah Buton dan Dompu (Sumbawa). Termasuk berhasil mengislamkan kerajaan Soppeng, Wajo, dan Bone.Penyebaran agama Islam di Gowa juga atas perjuangan dakwah dari Datuk Ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal), seorang ulama dari Minangkabau.
6. Datuk Tunggang ParanganDatuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya merupakan seorang ulama Minangkabau yang berdakwah di Kutai Kartanegara. Beliau berdakwah bersama sahabatnya, Datuk Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota (1525 – 1589).Berkat dakwah Datuk Tunggang Parangan, akhirnya Raja Aji Mahkota memeluk Islam dan diikuti oleh keluarga kerajaan serta rakyat Kutai Kartanegara.Kerajaan Kutai Kartanegara berubah nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara.Agama Islam berkembang pesat pada masa ini, bahkan undangundang negara berlandaskan pada ajaran Islam.Datuk Tunggang Parangan berdakwah di Kutai hingga akhir hayatnya. Setelah wafat, beliau dimakamkan di Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
7. Sultan Zainal AbidinBeliau memerintah Kesultanan Ternate pada kurun waktu 1486-1500 M. Sejak usia belia, beliau mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya, dan dari seorang ulama bernama Datuk Maulana Hussein.Setelah dinobatkan menjadidiikuti raja, beliau menjadikan Islam sebagai landasan resmi bernegara, hingga kerajaan Ternate berubah nama menjadi Kesultanan Ternate.Sultan Zainal Abidin berangkat ke Pulau Jawa pada tahun 1494 M untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Sunan Giri, Jawa Timur. Sekembalinya dari Jawa, beliau mengajak ulama-ulama terkemuka , di antaranya Tuhubahanul untuk membantu dakwah di seluruh Maluku.
Candi Penataran, terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, adalah salah satu candi terluas dan termegah di Jawa Timur. Candi ini dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad 12-15 Masehi, dan menjadi saksi bisu kejayaan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Penataran seringkali dianggap sebagai pusat keagamaan dan budaya, di mana banyak upacara ritual dan pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu.
Candi Penataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar dengan ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar 1200 Masehi, dan digunakan berlanjut pada masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar 1415 yang tersimpan pada prasasti di bagian candi.
Sejarah Candi Penataran
Candi Penataran pertama kali ditemukan para arkeolog pada abad ke-19, dan sejak saat itu menjadi fokus penelitian sejarah dan arkeologi. Dilansir dari jurnal berjudul Menyelami Budaya Membaca Sejarah yang ditulis Muhammad Risalul Amin dan Hendra Afiyanto, kompleks Candi Penataran dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, dimulai pada pemerintahan Raja Jayanagara (1309-1328).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Jayanagara, pembangunan dilanjutkan Ratu Tribhuwanotunggadewī (1328-1350), dan pada masa kejayaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389), pembangunan kompleks masih berlangsung. Kompleks ini akhirnya selesai dibangun pada masa Ratu Suhita (1400-1477). Beberapa artefak seperti Dwarapala dan Candi Angka menunjukkan angka tahun, yang berkaitan dengan masa pemerintahan tersebut, seperti Dwarapala berangka tahun 1242 Śaka (1320 M) dan Candi Angka tahun 1291 Śaka (1369 M).
Pembangunan kompleks Candi Penataran terhubung dengan empat masa pemerintahan, Raja Jayanagara, Ratu Tribhuwanotunggadewī, Raja Hayam Wuruk, dan Ratu Suhita. Namun, tidak ditemukan angka tahun yang mencatat pembangunan pada masa Raja Wikramawarddhana (1389-1400). Hal ini disebabkan krisis internal dan eksternal yang melanda Majapahit, termasuk perang saudara antara Wikramawarddhana dan Wirabhumi dari Blambangan.
Kemenangan Wikramawarddhana dalam perang saudara tersebut tidak mengembalikan kejayaan Majapahit. Intrik dalam keluarga kerajaan terus berlanjut, yang menghambat konsentrasi pada bidang seni dan pembangunan. Selain itu, wabah kelaparan juga melanda Majapahit pada masa itu, menambah kesulitan yang dihadapi kerajaan.
Makam dan Museum Bung Karno
Presiden pertama Indonesia Soekarno yang meninggal pada 21 Juni 1970 disemayamkan di Blitar. Makam Bung Karno kerap didatangi para peziarah dari berbagai kalangan, termasuk politik yang akan berkontetasi. Kompleks makam Bung Karno berada di area seluas 1,8 hektare dan terbagi menjadi tiga halaman: halaman, teras dan pendopo. Makam Bung Karno berada di bangunan utama yaitu Cungkup Astono Mulyo.
Selain makam, di sini juga didirikan Museum Bung Karno yang berisi berbagai peninggalan Sang Proklamator seperti pakaian, peci dan kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya, keris, foto Sang Fajar. Di area ini juga terdapat perpustakaan proklamator Bung Karno yang berisi buku bacaan. Ini sesuai dengan hobi Bung Karno yakni membaca. Harga tiket masuk kompleks makam Bung Karno hanya Rp3.000 per orang.
Lokasi: Jl. Ir. Soekarno No.152, Bendogerit, Kec. Sananwetan, Kota BlitarWaktu operasional: Senin-Minggu 07.00-18.00 WIB
Baca Juga: 6 Rekomendasi Hotel Dekat Alun-Alun Blitar